Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui biaya dan pendapatan, titik impas dan luas lahan minimum usahatani lily sehingga petani dapat mengetahui luasan dan harga tertentu yang dapat memberi keuntungan yang layak. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi penelitian, yaitu di kebun Percobaan Ciputri dan di petani Cisarua Lembang dan Selabintana, Sukabumi, Jawa barat. Penelitian yang dilakukan di kebun percobaan Ciputri merupakan studi kasus dan penelitian yang dilakukan di lahan petani menggunakan metode survei yang terdiri dari dua tahap yaitu prasurvei dan survei. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Desember 2003.Data primer diambil dari 15 orang dari petani lili melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Hias, Dinas Pertanian dan literatur yang ada kaitannya dengan penelitian. Penentuan sample diambil secara sengaja. Analisis data menggunakan analisis R/C ratio, titik impas dan luas lahan minimum. Biaya produksi terbesar lily lokal maupun asiatik ternyata terletak pada bibit, yaitu 76,75 % untuk liliy lokal dan 84,90 % untuk lili asiatik dari total biaya produksi. Titik impas produksi lili local (longiflorum) terjadi pada tingkat harga Rp. 1.074,1,- per kuntum, produktivitas 9.700 kuntum per 100 m2, nilai produksi Rp.10.418.770,- dan biaya produksi Rp.10.418.500,-. Titik impas pad lili impor (asiatik) terjadi pada tingkat harga Rp. 6.829,2,- per tangkai, produktivita 4009 tangkai per 100 m2, nilai produksi Rp.27.378.263,-per 100 m2 dan biaya produksi Rp. 27.378.110,- per 100 m2. Luas lahan minimum lili lokal pada tingkat harga terendah, yaitu Rp.1.000,- per kuntum, luas lahan minimum negatip. Luas lahan minimum pada lily impor pada tingkat harga terendah yaitu Rp 8.500,- per tangkai yaitu 55 m2, itu masih di bawah luas lahan rata-rata, yaitu 100 m2. Ini berarti pada tingkat harga terendah sasaran pendapatan masih bisa tercapai.
Kata kunci : Lilium longiflorum, Lili Asiatuk, Analisis Finansial, Usahatani.
ABSTRACT Komar, D., Nurmalinda, and R. Sinungbasuki. 2004. Financial analysis of agribusiness of Local Lily and Impor Lily varieties. The aim of this research was to know the cost and income, break event point and minimum acerage of lily businessman. This research was conducted in two locations, namely Ciputri experimental field, and farmer’s field in Cisarua, Lembang and Salabintana, Sukabumi, West Java. The research done at Ciputri was a case study using survey method consisting of two steps namely. Prasurvey and Survey, started from January to December 2003. Data were taken from primary and secondary source. Primer data was taken from 15 farmers, by direct interview using prior prepared quesionair, Secondary data was taken from institutions and references related to this study. Samples was taken with purposive random sampling. Data analizing using R/C ratio analizing of break event point and minimum acerage. The research concluded that the biggest part of production cost spent for seeds e.g. 76,75% for local lily and 84,90% for impor lily.The break event point of local lily was prompted of price level Rp. 1.074,1,- per piece, productivity of 9.700 flowers per 100 m2. Production value was Rp. 10.418.770,- and cost production was Rp. 10.418.500,- The price of impor lily was about Rp. 6.829,2,- per piece, productivity of 4.009 piece per 100 m2. Production value was Rp. 27.378.263,- per 100 m2 and cost production was Rp. 27.378.110,- per 100 m2.The of lowest price of local lily was Rp. 1.000,- per piece was negative The minimum farmer size area of lily Asiatic on lowest price Rp. 8.500,- per flowers was 55 m2, which was still narrower then the average of 100 m2. It means that the lowest price, the income target could still be achieved.
Keywords : Lilium longiflorum, Lilium asiatic, Finansial analysis, Agribusiness.
Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup petani tanaman hias bunga potong adalah dengan melakukan penelitian usahatani tanaman hias yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan penguasaan teknologi serta mempunyai nilai ekonomis tinggi. Salah satu jenis tanaman hias bunga potong yang memiliki kesesuaian kondisi lingkungan alam, ketersediaan teknologi agronomi dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yaitu, bunga lili potong. Di samping, itu bunga lili mempunyai beberapa kelebihan dalam variasi warna, bentuk yang unik, aroma yang harum, periode vaselife yang relatif panjang dan nilai ekonomis yang tinggi dibandingkan dengan bunga potong lainnya. Pada saat ini kebutuhan pasar internasional akan bunga lili meningkat sekitar 26,4% per tahun (Floraculture 1997). Di Belanda, luas lahan untuk penanaman lili meningkat dari 227 ha tahun 1970 menjadi 2896 ha pada tahun 1993 (Van Tuyl 1990). Untuk memenuhi permintaan bunga yang semakin meningkat perlu adanya keseimbangan antara produktivitas usahatani yang dilakukan melalui tersedianya teknologi, produksi, daya dukung lahan, pemilihan komoditas, perilaku petani, sarana dan prasarana untuk pemasaran hasil serta perilaku konsumen (Effendi 1994).Dalam era pasar global, sistem usahatani yang berpola agribisnis menjadi tuntutan bagi para produsen agar dapat mengatasi persaingan bebas dan dapat menguasai pasar (Marwoto et.al. 1997).
Permintaan terhadap bunga potong setiap tahunnya terus meningkat, sehingga petani sering dihadapkan pada pilihan jenis komoditi yang diperkirakan lebih menguntungkan, pada luas lahan yang tidak bertambah. Luas lahan garapan yang kurang memadai ini sering menjadi kendala bagi petani hortikultura, termasuk bagi petani lili. Pada luas lahan yang sempit petani dituntut untuk memperoleh keuntungan yang layak guna mencukupi kebutuhan keluarganya, Sampai sejauh ini belum diketahui pada luasan minimum berapa usahatani lili dapat memberikan keuntungan yang layak. Oleh karena itu dianggap perlu penelitian analisis financial dan luas lahan minimum usahatani lili.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis biaya produksi dan pendapatan usahatani lily, titik impas dan luas lahan minimum.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu di kebun Ciputri dan di lahan petani di Sukabumi dan Cisarua, Jawa Barat. Penelitian di lahan petani menggunakan metode survei yang terdiri dari dua tahap, yaitu prasurvei dan survei (Santen & Hariyono 1986) dan (Singaribuan & Effendie 1995). Dalam pelaksanaannya dilakukan survei pendahuluan untuk mengumpulkan imformasi awal, pengumpulan data sekunder dan uji coba kuesioner. Pada penelitian di kebun percobaan Ciputri lili impor ditanam dalam naungan pada satu hamparan dengan menggunakan teknologi yang dilakukan oleh perusahaan setempat. Pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Desember 2003.
Data primer diperoleh dari petani lili dengan melakukan wawancara langsung kepada responden dan dicatat pada kuesioner yang terlebih dahulu telah dipersiapkan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian Sukabumi, Balai Penelitian Tanaman Hias dan literatur yang ada hubungannya dengan penelitian. Jumlah petani yang dijadikan sampel dipilih secara sengaja sebanyak 15 orang disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Analisis data yang digunakan adalah analisis R/C ratio >1, yaitu perbandingan antara nilai produksi dengan biaya produksi. Menurut Sudarsono (1982) dalam Santoso et al. (1995) semakin tinggi nisbah R/C ratio suatu usahatani akan semakin efisien dan layak diteruskan ke analisis titik impas (Sigit, 1979) serta luas lahan minimum.
Menggunakan analisis titik impas harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : Biaya produksi harus mempunyai biaya tetap dan biaya berubah, hanya berusahatani satu komoditas saja dan tanaman yang dihasilkan sama dengan tanaman yang dijual (Husnan & Sudarsono 1984).
Perhitungan B E P ( Sigit 1979 dalam Sutater.et al. 1993 ) adalah :
Π = P.Q – (VC + FC) Di mana :
Π = P.Q – Q.C + FC π = Pendapatan
Π = Q (P – C) + FC = 0 P = Harga/Tangkai
Q = Produksi (Tangkai/100m2)
C = Biaya Berubah (Rp/Tangkai)
FC = Biaya tetap (Rp/100m2)
VC = Biaya Berubah (Rp/100m2)
Perhitungan luas lahan minimal menurut Santoso (1989) dalam Ameriana (1991) adalah :
Π = R . L – ( FC + VC . L )
Di mana :
Π = Sasaran pendapatan ( $ 1500/tahun )
R = Pendapatan
L = Luas lahan
FC = Biaya tetap
VC = Biaya berubah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lili yang ditanam di kebun percobaan Ciputri berasal dari bibit impor yang harganya cukup tinggi. Sedangkan bibit lili lokal (longiflorum) dibeli dari sesama petani lili dengan harga relatif rendah dibandingkan dengan lili impor.
Sistem produksi lili impor dengan lili lokal sedikit berbeda. Perbedaannya antara lain lili impor ditanam di lahan tegalan menggunakan naungan plastik dengan sistem pengairan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit secara teratur dan terkontrol, sedangkan penanaman lili lokal di budidayakan di lahan tegalan atau lahan bekas tanah sawah pada lahan terbuka dengan sistem pengairan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit secara tradisional.
Lili impor mempunyai beberapa macam warna bunga, seperti merah, kuning, pink bintik-bintik dan putih, sedangkan lili lokal hanya mempunyai satu warna cerah saja yaitu warna putih (Tabel 7). Rata-rata luas lahan garapan untuk setiap varietas lili impor 100 m2, setiap musim tanam yang lamanya + 3 bulan, sedangkan lili lokal luas lahan garapannya kurang dari 100 m2 yang diusahakan selama satu setengah sampai dua tahun dengan tujuan di samping memperoleh bunga potong secara terus menerus, juga untuk memperoleh bibit. Dalam penelitian ini umur tanaman lili lokal disetarakan dengan lili impor yaitu, hanya 3 bulan untuk sampai panen bunga (satu kali musim berbunga).
Usahatani lili lokal sedikit berbeda dengan lili impor antara lain jarak tanam, untuk lili impor 12,5 cm x 12,5 cm, jarak antarbedengan 30 cm dan ditanam di lahan yang memakai naungan plastik, sedangkan lili lokal menggunakan jarak tanam 15cm x 15cm, jarak antar bedengan 40 cm dan ditanam pada lahan terbuka.
Pemberian pupuk kandang dicampur dengan kaptan pada pengolahan tanah pertama untuk penanaman lili impor dan pemberian pupuk susulan menggunakan Urea, TSP, KCl, NPK dan ditambah pupuk mikro, antara lain KNO3, MgSO4 serta multimikro yang diberikan secara bergantian bersama dengan penyiraman. Sedangkan untuk lily lokal, hanya diberikan pupuk N, P dan K saja yang diberikan satu bulan sekali.
Penyakit busuk akar dan busuk umbi pada bibit lili lokal merupakan salah satu penyakit yang sulit dikendalikan. Penyakit busuk suing dan umbi kebanyakan disebabkan oleh Fusarium oxysporum .f.sp.lili (Imle. 1942 a; Imle 1942 b; Liderman 1981). Petani berupaya untuk menekan serangan hama penyakit dengan menggunakan pestisida, antara lain Metamidopos 205 g, Mankozeb 80%,Propineb 70%, Abamektin 18,5 g dan Deltmetrin 25 g dengan selang waktu 1 kali seminggu. Untuk lili impor yang ditanam di bawah naungan plastik, serangan hama dan penyakit masih bisa dikendalikan di samping memakai sanitasi tanah sebelum penanaman bibit juga menggunakan pestisida yang diberikan 1 minggu 2 kali.
Pemeliharaan tanaman selain pemupukan, pengendalian hama penyakit, penyiangan, penyiraman, pengguludan dan pemasangan kawat di sepanjang bedengan untuk menjaga tanaman tidak roboh. Penyiangan bergantung pada kondisi gulma, umumnya dilakukan sekali dalam setiap bulan sedangkan pengguludan dilakukan setelah aplikasi pupuk buatan. Penyiraman Lili local dilakukan 2 kali setiap minggu dengan cara disiram langsung ke tanaman dengan menggunakan selang, sedangkan untuk lili impor aplikasi penyiraman dilakukan 2 hari 1 kali menggunakan saluran pipa yang sudah dilobangi dan dibentangkan di atas bedengan.
Panen bunga lili lokal maupun impor biasanya dilakukan setelah tanaman berumur 3 bulan dengan ciri-ciri adanya perubahan warna 2 – 3 kuntum kuncup bunga dari warna hijau ke warna lain. Panen dilakukan seminggu 2 kali. Penjualan hasil panen lili lokal dilakukan di kebun, dipanen oleh petani atau pedagang itu sendiri. Harga jual lily lokal berfluktuasi antara Rp.1000 sampai dengan Rp. 2000 per kuntum bergantung pada situasional. Sedangkan untuk lily impor seperti jenis asiatik dijual langsung ke toko bunga atau hotel secara rutin dengan sistem pembayaran secara kontrak. Harga jual berkisar antara Rp 8.500 – Rp. 12.500 per tangkai.
Biaya Produksi
Dalam penelitian ini analisis biaya produksi dihitung dengan analisis finansial. Dalam analisis ini semua input dan output yang diperhitungkan hanya biaya yang betul-betul dikeluarkan oleh petani maupun pengusaha.
Biaya usahatani lili terdiri dari (1) Biaya berubah seperti bibit, sarana produksi, tenaga kerja. (2) Biaya tetap, seperti sewa lahan, alat, pajak dan bangunan.
Hasil analisis biaya lily impor (tabel 1) meninjukan bahwa proporsi biaya berubah merupakan komponen yang paling besar, yaitu 94,26%. Dari total biaya berubah tersebut, proporsi biaya bibit ternyata paling besar, yaitu 89,80% dan biaya pestisida menempati urutan ke dua, yaitu 2,30% dan biaya berubah lainnya kurang dari 1%. Hal ini cukup beralasan karena dalam usahatani lili impor, bibit yang digunakan harus di impor, sehingga biaya bibit lebih mahal. Tanaman lili lebih rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh Fusarium, maka dalam pencegahannya menggunakan pestisida secara rutin sehingga biaya pestisida lebih besar.
Biaya berubah lili lokal (table 2) merupakan biaya yang paling besar, yaitu 92,06%. Proporsi biaya berubah yang paling besar terletak pada biaya bibit, yaitu 76,75%. Hal ini disebabkan bibit lili lokal sulit diperbanyak karena masih ada kendala dalam perbanyakan umbi, terutama penyakit busuk akar dan busuk umbi yang disebabkan oleh Fusarium. Biaya berubah yang besar selain biaya bibit adalah biaya pestisida, yaitu 7,84%. Hal ini sangat relevan dengan penanggulangan penyakit supaya dapat menekan serangan dan mempertahankan kualitas produksi.
Tabel 1. Analisis usahatani Lili impor per 100m2 (Financial analysis of impor lily variety/100 m2 plantation) tahun 2003 di Ciputri.
NO |
URAIAN (Description) |
VOLUME (Volume) |
NILAI (Rp) (Value) |
% (Percentage)
|
1. |
BIAYA BERUBAH (Variable cost) |
|
|
|
|
a. Bibit (Seed) |
4220 umbi |
25.320. 000 |
89,80 |
|
b. Pupuk kandang (Manure) |
770 kg |
154.000 |
0,55 |
|
c. Pupuk buatan (Fertilizer) |
110 kg |
253.330 |
0,90 |
|
d. Pestisida (Pesticides) |
|
649.100 |
2,30 |
|
e. Tenaga kerja (Labors) |
|
|
|
|
Laki-laki (Man) |
18 HKP |
141.680 |
0,50 |
|
Perempuan (Woman) |
10 HKW |
60.000 |
0,21 |
|
TOTAL (A) |
|
26.578.110 |
94,26 |
2. |
BIAYA TETAP (Fixed cost) |
|
|
|
|
a.Sewa lahan (land rent) |
3 bln/100 m2 |
300.000 |
1,06 |
|
b.Irigasi (Irigation) |
5 buah |
350.000 |
1,24 |
|
c. Kawat penyangga (Supported wire) |
|
150.000 |
0,53 |
3. |
TOTAL (B) |
|
800.000 |
2,83 |
4. |
TOTAL BIAYA (A+B)(total cost) |
|
27.378.110 |
|
|
a.Bunga modal (C) |
12 %/tahun |
821.343 |
2,19 |
5. |
BIAYA TOTAL (A+B+C) (Total cost) |
(3 bln) |
28.199.453 |
100 |
6. |
PENERIMAAN KOTOR (Total revenue) |
4009 ktm |
34.076.500 |
|
|
PENERIMAAN BERSIH (Net income) |
|
5.877.047 |
|
|
R/C Ratio |
|
1,21 |
|
Tabel 2. Analisis usahatani Lili lokal per 100m2 (Local Lily Farming Analisies/100m2 at Sukabumi in 2003) tahun 2003 di Sukabumi.
NO |
URAIAN (Description) |
VOLUME (Volume) |
NILAI (Rp) (Value) |
% (Percentage)
|
1. |
BIAYA BERUBAH (Variable cost) |
|
|
|
|
f. Bibit (Seed) |
2772 umbi |
8.316.000 |
76,75 |
|
g. Pupuk kandang (Manure) |
½ ton |
125.000 |
1,15 |
|
h. Pupuk buatan (Fertilizer) |
150 kwintal |
337.500 |
3,20 |
|
i. Pestisida (Pesticides) |
6 7 Kg,lt |
850.000 |
7,84 |
|
j. Tenaga kerja (Labors) |
|
|
|
|
Laki-laki (Man) |
30 HKP |
240.000 |
2,20 |
|
Perempuan (Woman) |
20 HKW |
100.000 |
0,92 |
|
TOTAL (A) |
|
9.968.500 |
92,06 |
2. |
BIAYA TETAP (Fixed cost) |
|
|
|
|
a.Sewa lahan (land rent) |
4 bulan |
250.000 |
2,30 |
|
b.Sewa alat (Tool rent) |
5 buah |
200.000 |
1,84 |
3. |
TOTAL (B) |
|
450.000 |
4.14 |
4. |
TOTAL BIAYA (A+B) |
|
10.418.500 |
|
|
a.Bunga modal (C) |
12 %/tahun |
415.740 |
3,80 |
5. |
BIAYA TOTAL (Total cost) |
(4 bln) |
10.834.240 |
100 |
6. |
PENERIMAAN KOTOR (Total revenue) |
|
12.125.000 |
|
|
PENERIMAAN BERSIH (Net income) |
9.700 ktm |
3.740.760 |
|
|
R/C Ratio |
|
1,12 |
|
Dalam analisis R/C ratio bunga modal sudah diperhitungkan, yaitu 12% per tahun, dengan asumsi apabila modal tersebut tidak digunakan dapat disimpan di Bank. Harga jual bunga potong lili impor paling rendah, yaitu Rp. 8.500,- per tangkai, penerimaan Rp.34.076.500 dan biaya total Rp.28.199.453,- per 100 m2 memperoleh keuntungan dengan nisbah R/C Ratio 1,21. Harga jual lili lokal Rp. 1.250,- per kuntum, penerimaan Rp.12.125.000,- dan biaya total Rp. 10.834.240,- memperoleh keuntungan dengan nisbah R/C ratio 1,12. Hal ini berarti tingkat keuntungan lili impor lebih tinggi dibandingkan dengan lily local.
Luas Lahan Minimum untuk Usahatani Lili
Untuk mengetahui luas lahan minimum usahatani lili terlebih dahulu harus diketahui biaya produksi, biaya berubah, biaya tetap, total biaya dan pendapatan total, maka dapat dicari luas lahan minimum usahatani lili, berdasarkan sasaran tingkat pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu $ 1.500 per rumah tangga per tahun atau dalam rupiah Rp.12.750.000,- (Sutater et al. 1993), maka dengan tingkat pendapatan tersebut petani dapat hidup layak dengan asumsi bahwa petani tersebut hanya berusahatani lili saja, tidak ada sampingan lain (Husnan et al.1984).
Analisis Titik Impas Usahatani Lili
Dalam analisis titik impas harga bunga digunakan 3 macam harga jual, yaitu harga jual terendah, harga rata-rata dan harga jual tertinggi. Ini berarti apabila harga turun, luas lahan bertambah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Santoso (1989), Ameriana et.al (1991) dan Sutater et.al (1993).
Untuk mengetahui titik impas, usahatani lili impor dilakukan analisis harga per tangkai sedangkan untuk lili lokal dilakukan analisis harga per kuntum sebagai cara transaksi yang umum digunakan oleh pelaku bisnis lili.
Dari hasil perhitungan (Tabel 3) usahatani lili lokal dan lili impor (Tabel 4), BEP usahatani lili impor terjadi pada harga Rp. 6.829,2 per tangkai, dengan produksi 4.009 tangkai per 100 m2. nilai produksi Rp. 27.378.263,- per 100 m2 dan biaya produksi Rp. 27.378.110,- per 100 m2. BEP untuk lili lokal terjadi pada tingkat harga per kuntum Rp.1.074,1, produksi 9.700 kuntum per 100 m2 nilai produksi Rp. 10.418.770,- per 100m2 dan biaya produksi Rp. 10.418.500,- /100 m2.
Tabel 3. BEP Budidaya Lili Lokal per 100m2 (The BEP of Local Lily Plantation/100m2)
URAIAN (Descrition) |
SATUAN (Unit) |
B E P |
Harga (Price) |
(Rp / Tki) |
1.074,1 |
Produktivitas (Productivity) |
(Tki / 100 m2) |
9.700 |
Nilai Produksi (Production value) |
(Rp / 100 m2) |
10.418.770 |
Biaya Produksi (Production cost) |
(Rp / 100 m2) |
10.418.500 |
Pendapatan (Income) |
(Rp / Tki) |
270 |
Tabel 4. BEP Budidaya Lili Impor per 100m2 (The BEP of Lily Impot Plantation/100m2)
URAIAN (Descrition) |
SATUAN (Unit) |
B E P |
Harga (Price) |
(Rp / Tki) |
6.829,2 |
Produktivitas (Productivity) |
(Tki / 100 m2) |
4.009 |
Nilai Produksi (Production value) |
(Rp / 100 m2) |
27.378.263 |
Biaya Produksi (Production cost) |
(Rp / 100 m2) |
27.378.110 |
Pendapatan (Income) |
(Rp / Tki) |
163 |
Luas Lahan Minimum Usahatani Lili Impor
Apabila petani menjual produksinya pada saat harga jual terrendah Rp. 8.500,- per tangkai maka luas lahan minimum 55 m2. Hal ini berarti apabila perusahaan berusahatani lili pada luasan tersebut sasaran pendapatan $ 1.500 per tahun akan tercapai, apabila pengunaan usahatani lili mengusahakan di bawah 55 m2 sasaran pendapatan tidak akan tercapai.
Pada tingkat harga jual bunga potong lili asiatik Rp. 10.000,- per tangkai maka luas lahan minimal untuk mencapai sasaran pendapatan $ 1.500 per tahun adalah 31 m2. Pada tingkat harga jual bunga potong lili impor tertinggi yaitu Rp. 12.500,- per tangkai sasaran pendapat $ 1.500 per tahun adalah 18 m2.
Tabel 5. Luas Lahan Minimal Budidaya Lili Impor (The Minimum acvearage Impor of Lily Plantation)
Uraian (Description) |
Harga Terendah (Lowert price) |
Harga Sedang (Medium price) |
Harga Tertinggi (Highest price) |
Harga Bunga (Rp/Kt)(Flower Price) |
8.500 |
10.000 |
12.500 |
Produksi Bunga (Kt/100m2) (Flawer Production) |
4.009 |
4.009 |
4.009 |
Harga Bibit (Rp/Umbi) (Seed Price) |
6.000 |
6.000 |
6.000 |
Biaya Berubah (Rp/00 m2) (Variable Cost) |
26.578.110 |
26.578.110 |
26.578.110 |
Biaya Tetap (Rp/100 m2) (Fixed Cos) |
800.000 |
800.000 |
800.000 |
Pendapatan (Rp/100 m2) (Income) |
34.076.500 |
40.090.000 |
50.112.500 |
Luas Lahan Minimum (m) (Minimum Acreage) |
55 |
31 |
18 |
Luas Lahan Minimum Usahatani Lili Lokal
Pada tingkat harga terendah, usahatani lili lokal, sasaran pendapatan tidak terpenuhi karena tingkat harga jual terendah Rp. 1.000,- per kuntum dengan luas lahan minimum yang didapat negatif. Artinya apabila harga jatuh sampai Rp. 1.000 per tangkai, berapapun luas lahan yang diusahakan petani akan mengalami kerugian . Pada tingkat harga Rp. 1.500,- per kuntum akan tercapai sasaran pendapatan dengan luas lahan minimum 92 m2. Pada tingkat harga jual tertinggi Rp. 2.000,- per kuntum maka luas lahan minimum adalah 42 m2.
Tabel 6. Luas Lahan Minimal Budidaya Lili Lokal (The Minimum Acearage of Local Lili Plantation)
Uraian (Description) |
Harga Terendah (Lowert price) |
Harga Sedang (Medium price) |
Harga Tertinggi (Highest price) |
Harga Bunga (Rp/Kt)(Flower Price) |
1.000 |
1.500 |
2.000 |
Produksi Bunga (Kt/100m2) (Flawer Production) |
9.700 |
9.700 |
9.700 |
Harga Bibit (Rp/Umbi) (Seed Price) |
3.000 |
3.000 |
3.000 |
Biaya Berubah (Rp/00 m2) (Variable Cost) |
10.384.240 |
10.384.240 |
10.384.240 |
Biaya Tetap (Rp/100 m2) (Fixed Cos) |
450.000 |
450.000 |
450.000 |
Pendapatan (Rp/100 m2) (Income) |
9.700.000 |
14.350.000 |
19.400.000 |
Luas Lahan Minimum (m) (Minimum Acreage) |
-5,6 |
92 |
42 |
Berdasarkan hasil analisis ketiga tingkat harga jual bunga potong lili lokal pada tingkat harga terendah, yaitu Rp. 1.000,- per kuntum, luas lahan minimum negatip. Hal ini berarti apabila petani berusaha tani lily saja, perlu perluasan areal tanam. Namun demikian hal ini tidak mungkin dilakukan karena areal usahatani terbatas. Alternatif yang dapat dilakukan adalah sistem pembudidayaan tumpang sari atau memperkecil jarak tanam, seperti jarak tanam yang digunakan oleh lili introduksi sehingga populasi tanaman dalam satu areal lebih banyak.
Dilihat dari hasil analisis lahan minimum usahatani lili impor walaupun pada tingkat harga terrendah, yaitu Rp.8.500,- per tangkai sasaran pendapatan tercapai karena luas lahan minimum di bawah luas lahan rata-rata.
KESIMPULAN
Biaya produksi terbesar untuk lili impor terletak pada biaya bibit, yaitu 84,90% dari total biaya. Titik impas pada lily impor terjadi pada tingkat harga Rp. 6.29,2,- per tangkai, produksi 4.009 per 100 m2, biaya produksi 27.378.263 per 100 m2 dan nilai produksi 27.378.110 per 100 m2. Titik impas pada lili lokal terjadi pada tingkat harga Rp. 1.1074,2,-, produksi 9.700 kuntum per 100 m2 nilai produksi Rp. 10.418.770 per 100 m2 dan biaya produksi 10.418.500 per m2. Luas lahan minimum untuk lili impor pada tingkat harga terendah yaitu Rp.8.500 per tangkai adalah 55 m2. Luas lahan minimum lili lokal pada tingkat harga terendah, Rp. 1.000,- per kuntum luas lahan minimum negatip
PUSTAKA
1. Ameriana.M, Majawisastra.R, T. Sutater, D. Komar. 1991. Analisis usahatani bunga potong gladiol. Proseding Seminar Tanaman Hias. hlm 131 – 141.
2. Effendie, K. 1994. tataniaga dan perilaku konsumen bunga potong. Bul Penel Tan Hias. Vol. 2.: hlm 64 -70.
3. Floriculture, 1997. World floriculture by the numbers. March 1997 Vol no.30 – 39.
4. Husnan.S dan Suwarsono. 1984. Studi kelayakan proyek. AMP YKPN Universitas Gajahmada. Yogyakarta. 337 hal.
5. Imle,E.P.1942 a., Imle.E.P b., and Linderman. 1981. Fusarium Diseases of Flowering Bulb Crops, In: Fusarium: Deseases, Biology and Taxonomy (P.E. Nelsson, T.A. Toussoun & R.J Cook, eds). The Pennsylvania State University Press, Uneversity Park and London, pp. 129-141.
6. Marwoto, B, T. Sutater, Suciantini. 1997. Modifikasi pola night break dan intensitas cahaya pada krisan untuk efisiensi energi. Laporan hasil penelitian tanaman hias bekerja sama dengan Agriculture Research Management Proyek II. Balithi Jakarta.15 hal
7. Santoso, P. 1989. Luas minimum usahatani kentang di desa Pandesari, Pujon, Malang. Bul Penel Horti XVIII (3): 8-13.
8. Santoso, P.,A. Supriyanto, dan Sutiono. 1995. Analisis pembibitan apokat cara sambung celah dan okulasi irisan. Penel Hort. 7(1):97-105.
9. Singaribuan, M dan Effendie. 1995. Metode penelitian survey LP3ES. Jakarta..25 hal
10. Sigit, S. 1979. Analisis break event point. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. 270 hal.
11. Sutater. T, Majawisastra. R dan D. Komar. 1993. Analisis Bunga Potong Krisan. Bul. Penel. Tan. Hias 1/ (1): 87- 91.
12. Van Tuyl. J.M. 1990. Dutch – grout lilium longiflorum a realty. The lily yearbook of North American lily Soc. 41 :33-32.
13. Van Santen, C.E and Heriyono. 1986. Methodologicalaspects of on-farm research programmer for maize-based farming systems. In Socio-Economic research on Food Legumes and Coarse Grains Methodological Issues. CGPRT No 4 :33-73.
Leave a comment